
WartaBerita.co.id – Jakarta | Sebuah insiden terbaru yang melibatkan seorang mantan jaksa senior yang kini menjabat sebagai inspektur di Kejaksaan Agung telah memicu perdebatan internal yang cukup sengit. Kasus ini berfokus pada tindakan seorang jaksa muda, Jovi Andrea, yang mengkritik atasan-atasannya melalui media sosial, menimbulkan berbagai tanggapan dari kalangan dalam lembaga hukum tersebut.
Pada rapat dengar pendapat yang digelar pada Rabu (27/11/2024), mantan jaksa yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam sistem hukum Indonesia, menyampaikan keterkejutannya terhadap tindakan Jovi. Menurutnya, mengkritik pimpinan melalui media sosial adalah langkah yang tidak profesional dan dapat merusak citra Kejaksaan Agung.
“Saya telah bekerja sebagai jaksa dan inspektur lebih dari tiga dekade, dan belum pernah menyaksikan hal seperti ini sebelumnya. Kritik semacam ini seharusnya dilakukan melalui saluran yang tepat, bukan dengan cara yang merusak wibawa lembaga,” kata mantan jaksa tersebut, yang enggan disebutkan namanya.
Pernyataan tersebut terkait dengan postingan Jovi Andrea di media sosial yang mengkritik dinamika kerja di Kejaksaan, termasuk isu “ketegangan romantis” yang diduga memengaruhi hubungan kerja di kantor. Jovi juga menilai masalah pribadi telah mengganggu tanggung jawab profesional di lembaga tersebut.
“Mengungkapkan masalah pribadi seperti ini di depan publik jelas mempermalukan individu dan lembaga. Ini bukan hanya soal perbedaan pendapat, tapi masalah pribadi yang dipublikasikan,” tambah jaksa senior itu, yang menilai pimpinan Kejaksaan seharusnya sudah mengambil tindakan pencegahan lebih awal.
Meski mendapat kecaman, Jovi membela tindakannya, dengan alasan bahwa ia bermaksud untuk membuka mata publik tentang ketidakadilan yang dirasakannya di tempat kerja. “Saya siap menerima konsekuensi, tapi saya percaya pada pentingnya berbicara untuk membela yang benar,” ujar Jovi.
Selain kritik terhadap media sosial, masalah ketidakhadiran Jovi juga menjadi sorotan. Jovi tercatat absen selama 29 hari, yang memicu perdebatan mengenai kemungkinan pemecatannya. Berdasarkan peraturan, seorang jaksa yang absen selama lebih dari 46 hari dalam setahun bisa dipecat tanpa hormat. Namun, Jovi mengklaim bahwa sebagian absennya telah disetujui, dan ada alasan mendasar terkait keterlibatannya dalam kasus Mahkamah Konstitusi.
“Selama 29 hari saya absen, lima hari di antaranya sudah disetujui, dan sisanya terkait dengan tugas saya di Mahkamah Konstitusi,” jelas Jovi.
Seorang jaksa senior menanggapi hal ini dengan hati-hati, mengingat mungkin ada alasan lebih dalam di balik ketidakhadiran Jovi. “Kita perlu memahami konteksnya dengan lebih teliti. Apakah masalah ini terkait hal pribadi atau ada faktor lain yang mempengaruhi? Semua perlu dievaluasi secara seksama,” katanya.
Kontroversi ini memicu diskusi lebih luas mengenai kedisiplinan dan perilaku di dalam Kejaksaan Agung. Beberapa pihak mendukung langkah Jovi untuk menantang apa yang dianggapnya sebagai ketidakadilan, sementara yang lain berpendapat bahwa tindakannya mencerminkan kurangnya rasa hormat terhadap prosedur dan hierarki lembaga.
“Kasus ini telah menjadi sorotan publik. Ini lebih dari sekadar perselisihan pribadi, ini tentang citra lembaga yang harus dijaga,” pungkas jaksa senior tersebut.
Kasus ini masih terus berkembang, dan belum ada keputusan final dari Kejaksaan Agung mengenai langkah disipliner terhadap Jovi Andrea. Namun, insiden ini menyoroti adanya ketegangan internal yang berpotensi memengaruhi dinamika kerja dan citra Kejaksaan Agung di mata publik. (*)